Sabtu, 07 Mei 2011

IMAN DAN KUFUR DALAM PERSPEKTIF ANTAR ALIRAN


                                 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

       Sebagai agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, Islam mempunyai dua dimensi penting yaitu akidah atau keyakinan dan Syariah Ubudiyah atau segala sesuatu yang diamalkan, yang mana biasa juga disebut dengan amaliyah. Syariah atau amal perbuatan tersebut merupakan implementasi atau bentuk pelaksanan dari akidah itu sendiri. Selanjutnya Akidah disebut –sebut sebagai keimanan dan amaliyah adalah perbuatan. Iman dalam agama Islam merupakan dasar pondasi atas syariah-syariah Islam yang ada. Dari hubungan inilah yang kemudian menjadi perbedaan dikalangan aliran Islam yang ada.
       Tentang keimanan seseorang yang sering dikait-kaitkan kepada kekufuran, dimana sering disebutkan adalah posisi ketika seseorang dikatakan tidak beriman. Merupakan penting untuk di bahas lebih lanjut.
       Perbicangan mengenai konsep iman dan kufur menurut tiap-tiap aliran teologi Islam, seperti yang terlihat dari berbagai literatur Ilmu Kalam, acapkali lebih dititik beratkan pada satu aspek saja dari dua term, yaitu iman atau kufur. Ini dapat dipahami sebab kesimpulan tentang konsep iman bila dilihat kebalikannya juga berarti kesimpulan tentang konsep kufur.[1])
1
 
        Mengenai kemunculan masalah iman dan kufur itu sendiri adalah pertamakali pada kelompok Khawarij ketika mereka mengatakan kafir sejumlah sahabat Nabi Muhammad SAW. Yang menurut mereka dipandang sebagai dosa besar. Dari pernyataan itulah yang kemudian menjadi  bahan   perbincanan      di kalangan         aliran-aliran Islam setelah Khawarij yaitu aliran Murjiah, aliran Mu’tazilah, aliran Asy’ariyah, dan aliran Maturidiyah.  Mereka turut ambil bagian dalam psersoalan iman dan kufur, bahkan tak jarang dalam pembahasan masalah ini terjadi perbedaan pendapat di antara para pengikut masing-masing aliran tersebut.
       Perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan aliran, termasuk pendapat mengenai iman dan kufur dipengaruhi oleh dasar pemikiran yang bebeda dan fungsi wahyu, selain itu dipengaruhi pula perbedaan dalil  yang di terima, mengingat hadits-hadits Rasulullah baru tesusun sempurna antara abad ke-3 dan ke-4. Sesuai yang telah dipaparkan oleh dosen kami Prof. Dr. H. Djamaluddin Mirri, Lc, MA. Pada kuliah semester I, program MADIN.

B.     Sejarah Timbulnya Perbedaan Tentang Iman Dan Kufur

       Masalah iman dan kufur pertamakali muncul pada pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang ketika itu terjadi peperangan dengan Mu’awiyah Bin Abu Sofyan dari bani Umayyah lantaran tidak setuju terhadap pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Peperangan Siffin tersebut hampir di menangkan pihak pasukan Ali Bin Abi Thalib, namun karena kelicikan dari pihak Mu’awiyah Bin Abi Sofyan, mereka meminta untuk berdamai sebagai dalih untuk menggulingkan pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Khalifah Ali Bin Abi Thalib menerima ajakan damai tersebut karena desakan dari salah satu pasukan Ali Bin Abi Thalib, Perdamaian tersebut menghasilkan  perjanjian yang justru merugikan Kalifah Ali Bin Abi Thalib, yang menjadikan Mu’awiyah Bin Abu Sofyan dengan sendirinya diangkat menjadi Khalifah tidak resmi. Karena hal itu muncullah golongan yang disebut Khawarij yang keluar dari barisan Ali Bin Abi Thalib lantaran tidak setuju dengan keputusan Ali Bin Abi Thalib yang menerima ajakan tahkim (arbitrase), bahkan mereka mengatakan Ali Bin Abi Thalib dan semua yang terlibat dalam tahkim itu telah kafir, Karena menurut Khawarij mereka tidak mengembalikan hukum pada al-Qur’an seperti yang diterangkan dalam firman Allah surat al-Maidah ayat 44.[2])
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ  

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah, maka orang itu adalah orang-orang yang kafir”.
       Dengan dalil inilah mereka mengatakan bahwa semua yang terlibat pada peristiwa tahkim adalah berdosa besar dan menurut mereka setiap yang berdosa besar adalah kafir.
       Itulah awal kemunculan persoalan iman dan kufur, setelah Khawarij muncullah Murji’ah dan kemudian aliran-aliran lain yang membahas masalah iman dan kufur seperti; Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah.
      
C.    Pengertian Iman Dan Kufur
1.      Pengertian Iman
       Iman berasal dari bahasa Arab yang berarti membenarkan, dan dalam bahasa Indonesia kata iman berarti percaya yaitu sebuah kepercayaan dalam hati dan membenarkan bahwa adanya Allah SWT. Itu benar-benar ada serta membenarkan dan mengamalkan semua yang telah di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan mempercayai keberadaan Nabi dan Rasul sebelum beliau.
       Dan menurut Syeih Jahir Ibnu Shalih Al Jaziri iman adalah sebagaimana akidah yakni meyakini dan membenarkan suatu perkara.[3])
       Dari pendapat ulama diatas bisa disimpulkan bahwa iman merupakan hal yang bersangkutan dengan hati, tentang iman kepada Allah dan semua hal yang gaib, dan perlu adanya pembenaran.
       Pengertian di atas kami kutip dari pemahaman salah satu aliran yang sampai saat ini masih bertahan.

2.      Pegertian Kufur
       Kufur secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti ingkar. Kufur adalah suatu keadaan yang berarti tidak beriman, maksudnya jika ditarik dengan arti iman di atas, dimana iman berarti percaya dan kebalikannya adalah kufur yang berarti tidak percaya kepada Allah SWT. Dan semua hal-hal yang gaib. Baik bagi seseorang yang bertuhan selain Allah SWT. Ataupun seseorang yang tidak bertuhan yaitu yang berfaham komunis.
       pendapat lain mengatakan bahwa kufur adalah mengingkari tauhid, kenabian, ma’ad, atau meragukan kejadiannya dan mengingkari pesan dan hukum para Nabi yang sudah di ketahui kedatangannya disisi Allah SWT.
       Dari sini jelaslah peranan kufur sebagai antagonis dari iman. Seseorang dikatakan beriman apabila ia percaya kepada Allah SWT. Dan seseorang yang tidak percaya atau mengingkari terhadap keberadaan Allah SWT. Sebagai Tuhan maka ia dikatakan kufur.    
       Selanjutnya mengenai pengertian iman dan kufur terjadi perbedaan pendapat di kalangan aliran-aliran Islam yang pernah ada dalam sejarah.

D.    Konsep Iman
       Mengenai konsep iman disini menurut Hasan Hanafi, ada empat istilah kunci yang yang biasa digunakan para teolog muslim dalam membicarakan konsep iman yaitu:
1.      Ma’rifah bi al-aql,(mengetahui dengan akal),
2.      Amal, perbuatan baik atau patuh,
3.      Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4.      Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula didalamnya  ma’rifah bi al-qalb  (mengetahui dengan hati).[4])

E.     Rumusan Masalah
       Kemunculan teologi mengenai iman dan kufur yang diawali oleh golongan Khawarij, kemudian diteruskan oleh aliran-aliran setelah itu yakni Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Perlu di bahas lebih lanjut  sejauh mana aliran-aliran tersebut mengartikan iman dan kufur itu sendiri, siapakah yang di sebut kufur, dan siapakah yang di sebut masih beriman. Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas kami rumuskan sebagai berikut: 
       1. Bagaimana perbandingan antar aliran iman dan kufur?
       2. Bagaimana hubungan antar aliran mengenai iman dan kufur?
       Akan kami bahas lebih lanjut pada bab pembahasan dalam makalah ini.


[1])  Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) hlm. 2.
[2])  Ibid., hlm. 133.
[3])  Thahir Bin Shaleh, Jawahir al-Kalam, (Surabaya: Al-Miftah, ) hlm. 2.
[4]) Ilmu Kalam, hlm. 141.
PEMBAHASAN

A.         Perbandingan Antar Aliran Iman Dan Kufur

1.      Khawarij
       Seperti yang kita ketahui sebelumnya dalam sejarah, kaum Khawarij adalah pengikut-pengikut Ali Bin Abi Thalib yang kemudian keluar dari barisan lantaran tidak setuju atas terjadinya peristiwa tahkim (arbitrase). Khawarij adalah golongan yang pertama kali memunculkan faham mengenai iman dan kufur, dimana kaum Khawarij mengecap Ali Bin Abi Thalib dan Mu’awiyah Bin Abi Sofyan serta semua yang terlibat dalam tahkim tersebut adalah kafir. Menurut mereka, karena Ali Bin Abi Thalib dan Mu’awiyah Bin Abi Sofyan beserta para pendukungnya telah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar.[5]) Dan menurut sebagian besar subsekte Khawarij bahwa pelaku dosa besar adalah kafir.
       Di sini kaum Khawarij memasuki persoalan kufr: siapakah yang disebut kafir dan keluar dari Islam? Siapakah yang disebut mukmin dan dengan demikian tidak keluar dari, tetapi tetap dalam,  Islam?.[6])
6
 
       Iman dalam pandangan Khawarij adalah tidak semata-mata percaya kepada Allah. mengerjakan segala perintah kewajiban Agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman).
       Khawarij dengan paham-paham yang radikal membuat golongan ini rentang dengan perpecahan, termasuk subsekte-subsekte Khawarij; Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat, Al-Azaridah, Al-Ajaridah, Al-Sufriyah, dan Al Ibadiyah.
     
a.       Al-Muhakkimah
       Golongan ini adalah golongan Khawarij murni yaitu Khawarij yang pertama kali muncul seperti yang tertera di atas. Kufur di sini adalah semua yang terlibat pada peristiwa tahkim. Dan semua orang yang telah berdosa besar juga dikatakan kufur pada aliran ini.

b.      Al-Azariqah
       Golongan Azariqah muncul setelah Al-Muhakkimah hancur. Pendapat Azariqah mengenai siapa yang beriman dan siapa yang kufur tergolong ekstrim, bahkan mereka tak lagi menggunakan term kufur melainkan term Musyrik yang keberadaannya lebih mengerikan di banding term kufur. Menurut mereka  yang beriman hanyalah golongan dari mereka sendiri yang mau berhijrah dan tidak pernah melakukan dosa besar. Dengan kata lain, berarti orang Islam yang bukan dari golongan mereka atau golongan Azariqah sendiri yang menolak untuk berhijrah dianggap Musyrik. Mereka pun menghalalkan membunuh orang-orang yang di anggap Musyrik temasuk anak dan istrinya.

c.       Al- Najdat
       Tidak jauh berbeda dengan golongan Al-Azariqah, golongan ini juga tak kalah ekstrim dalam paham mengenai iman dan kufur. Mereka juga menghalalkan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap kafir, sekaligus anak dan istrinya.
       Perbedaannya menurut Al-Najdat  yang disebut orang beriman adalah golongan Al-Najdat saja walaupun telah berdosa besar, menurut mereka orang yang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah  orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika melakukan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam   neraka, dan kemudian akan masuk surga.[7])

d.      Al-‘Ajaridah
       Seperti golongan Khawarij pada umumnya Al-‘Ajaridah juga termasuk aliran yang menitik beratkan iman dengan amal perbuatan, golongan ini masih tergolong moderat di banding golongan Khawarij di atas, anak dari orang yang di anggap kafir tidak lantas menjadi kafir dan boleh dibunuh. Orang yang beriman di sini tidak harus orang Al-‘Ajaridah yang mau berhijrah,  Al-‘ajaridah tidak mengharuskan pengikutnya untuk ikut berhijrah. Iman menurut Al-‘Ajaridah adalah semua golongan Al-‘Ajaridah yang tidak berdosa besar, dan anak kecil dari orang yang dianggap kafir masih di kategorikan beriman, selama ia belum mengikuti orang tuanya.

e.       Al-Sufriyah
       Iman dalam pandangan Al-Sufriyah tidak selalu bisa hilang hanya karena suatu dosa besar, Al-Sufriyah membagi dosa besar menjadi dua golongan;  dosa besar yang sangsinya ada di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa besar yang tidak ada sangsinya di dunia, seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang yang berbuat dosa golongan pertama tidak dipandang kafir yang menjadi kafir hanyalah orang yang melaksanakan dosa golongan kedua.[8])
       Al-Sufriyah juga membagi kufur  menjadi dua: kufr bi inkar al-ni’mah atau di sebut juga kafir ni’mat yaitu mengingkari rahmat Tuhan dan kufr bi inkar al-rububiyah  (kafir millah) yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir tidak selamanya harus keluar dari Islam.
             
f.       Al-ibadiyah
       disebut-sebut adalah golongan yang paling moderat di antara subsekte-subsekte Khawarij lainnya. Tetap mengatakan bahwa orang Islam selain dari golongan mereka adalah kafir tetapi boleh mengadakan hubungan perkawinan dan warisan, dan syahadatnya boleh diterima.
       Subsekte ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan Mukmin. Maksudnya di sini ia hanya dipandang sebagai kafir mengingkari ni’mat (kafir ni’mat) dan bukan kafir millah,[9]) dengan kata lain mengerjakan dosa besar tidak membuat orang menjadi keluar dari Islam,[10]) namun siksaan yang bakal mereka terima di akhirat nanti adalah kekal dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.[11])


      
2.      Murji’ah
       Murji’ah seperti halnya Khawarij, adalah golongan yang mengeluarkan paham berawal karena masalah politik, pendapat mengenai iman adalah sebagai respon terhadap pendapat Khawarij mengenai kafirnya para sahabat yang terlibat pada peristiwa tahkim, karena dianggap melakukan dosa besar sama halnya zina, riba, menbunuh, dan lain sebagainya. Kemudian kelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya di serahkan kepada Allah SWT. Apakah Dia akan mengampuninya atau tidak.[12])  
       Jika dilihat dari paham-paham golongan ini mengenai iman dan kufur, Murji’ah  bisa di kategorikan sebagai paham antagonis dari Khawarij, Khawarij yang menekankan pemikirannya pada masalah siapa yang di anggap kafir, sedangkan Murji’ah menekankan pada paham mengenai siapakah yang di anggap masih mukmin dan masih dalam keadaan Islam.
       Selain itu Khawarij yang menitik beratkan iman pada perbuatan seseorang, maka Murji’ah tidak menyangkut-pautkan iman dengan perbuatan seseorang, dengan kata lain menurut Murji’ah iman tidak di lihat dari perbuatan baik atau buruknya seseorang.
       Golongan yang mengaku berada di posisi netral di antara golongan khawarij dan Syiah ini berpendapat bahwa iman seseorang tidak hilang lantaran dosa besar yang di lakukannya. Menurut mereka dan sesuai dengan nama Murji’ah yang berasal dari kata (arja’ah ) yang berarti menunda berpendapat bahwa apapun persoalan dosa besar yang mereka buat itu ditunda penyelesainnya ke hari perhitungan kelak.[13])
       Pandangan iman menurut Murji’ah adalah mengakui tiada Tuhan selain Allah SWT. Dan bahwa Nabi Muhammad SAW. Adalah Rasulnya. Dan selama seseorang masih mempercayai dan mengakui tiada Tuhan selain Allah SWT. Dan Nabi Muhammad SAW. Adalah utusannya, meskipun telah melakukan dosa besar orang tersebut masih tetap mukmin dan bukan kafir, ini merupakan kesimpulan logis dari pendirian bahwa yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang hanyalah kepercayaan atau imannya dan bukan perbuatan atau amalnya.[14])
       Dalam perkembangannya Murji’ah digolongkan menjadi dua; subsekte ekstrim dan subsekte moderat, yang akan di delaskan secara umum di bawah ini.

a.       Murji’ah Ekstrim
       Murji’ah Ekstrim meliputi berbagai macam subsekte, yang di golongkan menjadi Murji’ah Ekstrim adalah golongan Murji’ah yang sangat dominan mengatakan bahwa iman sama sekali tidak di pengaruhi oleh perbuatan, mereka mengatakan bahwa iman semata-mata hanya di dalam hati, walaupun lidah dan perbuatan mengatakan tidak percaya kepada Allah SWT. Tapi dikembalikan lagi pada hati orang itu sendiri, maka hati adalah semata-mata penentu iman seseorang.
       Seperti golongan al-Jahmiyah, golongan ini mengatakan bahwa Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati, bukan bagian lain dari tubuh manusia,[15]) bahkan mereka mengatakan bahwa orang-orang yang menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran yahudi atau agama kristen dengan menyembah salib,  mengatakan percaya dengan trinity, dan kemudian mati. Orang demikian bagi Allah SWT. Tetap merupakan seorang Mukmin yang sempurna imannya,[16]) selama masih mempercayai Allah SWT. Dalam hatinya.
       Menurut subsekte Murji’ah Ekstrim apapun ucapan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada di dalam kalbu.[17])  hal itu yang membuat kelompok Murji’ah ekstrim mengatakan bahwa seseorang masih sempurna imannya apabila dalam hati masih mempercayai Tuhan walaupun perbuatannya telah  menyimpang dari kaidah-kaidah agama.
 
b.      Murji’ah Moderat
       Pada dasarnya golongan Murji’ah moderat tidak jauh berbeda dengan golongan Murji’ah ekstrim, yang membedakan adalah; iman selain di dalam hati (tashdiq), ia juga di sertai dengan lisan (iqrar).
       Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal di dalam neraka, tetapi akan di hukum di dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang di lakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya, oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.[18])
       Abu Hanifah di kategorikan masuk pada paham golongan moderat, adapun definisi iman menurut Abu Hanifah sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.[19])
       Seperti kata al-Syahrastani:”bagaimana mungkin seseorang yang di didik beramal sampai besarnya dapat menganjurkan untuk meninggalkan amal”,[20]) hal ini menunjukkan bahwasannya mengenai iman menurut Abu Hanifah adalah sesuatu yang ada dalam hati manusia dan tidak tidak dipengaruhi oleh perbuatan, bukan berarti perbuatan seseorang sama sekali tidak di lihat disini.
       Perbuatan baik dan perbuatan buruk atau istilahnya dosa besar, tidak merubah kadar keimanan seseorang, mengenai apabila pendosa besar yang belum sempat bertaubat di dunia, nasibnya di akhirat nanti diserahkan kepada Allah SWT. Mengenai Allah SWT. Akan menyiksanya, itu pun tidak akan kekal di dalamnya, dan apabila Allah SWT. Berkehendak untuk mengampuninya, itu pun hanya Allah SWT. Yang menentukan.

3.      Mu’tazilah
       Mu’tazilah muncul masih pada permasalahan bagaimana status pelaku dosa besar, berbeda dengan khawarij yang menfonis pelaku dosa besar sebagai kafir, atau Murji’ah yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah tetap mukmin. Mu’tazilah mengambil posisi tengah antara kafir dan mukmin, yang berarti bukan mukmin atau bukan kafir, yang kemudian di kenal dengan istilah fasik. Jika meniggal dunia sebelum bertaubat, ia akan di masukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Namun siksaan yang bakal di terimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir.[21])
       Amal perbuatan menurut pandangan Mu’tazilah adalah komponen penting dalam konsep iman, hal ini sebagaimana pendapat Mu’tazilah mengenai perbuatan manusia, bahwa manusia itu sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan tidak kepatuhannya kepada Tuhan.[22]) Dimana manusialah yang menentukan apakah ia akan menjadi orang yang beriman ataukah menjadi orang yang kufur.
       Mengenai peranan amal perbuatan, Mu’tazilah menempatkannya sebagai efek terhadap tambah atau berkurangnya kadar iman seseorang, iman akan bertambah seiring dengn meningkatnya perbuatan baik seseorang, dan sebalikanya iman justru akan berkurang dengan setiap kali melakukan perbuatan ma’siat. 
       Menurut aliran yang disebut kaum rasionalis Islam ini, komponen iman yang penting yang mempengaruhi iman selain amal perbutan adalah mengetahui dan akal (Ma’rifah). Menurut Mu’tazilah iman adalah suatu pengetahuan yang di peroleh menggunakan akal, iman di katakan telah benar apabila menggunakan akal, maka dari itu iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi at-tqlid).[23]) Mu’tazilah mengatakan apakah mereka itu kafir ataukah orang-orang mukmin yang durhaka jika di hubungkan dengan keadaan di dunia yakni apakah berlaku atas mereka itu hukum-hukum orang kafir di dunia ini ataukah hukum-hukum orang mukmin. Adapun keadaan mereka di akhirat tidak ada perbedaan pendapat bahwa mereka akan kekal di dalam neraka.[24])

4.      Asy’ariyah
       Setelah 40 tahun berkecimpung dalam aliran Mu’tazilah, Abu Hasan Al-Asy’ari dihadapkan pada perasaan syak, ajaran Mu,tazilah yang di peroleh dari Al-Juba’i menimbulkan persoalan-persoalan yang tak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan,[25]) pertanyaan-pertanyaan Abu Hasan Al-Asy’ari mengenai mengapa anak kecil yang mati suatu saat di akhirat nanti akan mendapatkan tempat antara surga dan neraka, terus bagaimana seandainya anak kecil tersebut menuntut tempat di surga, dan seterusnya. Namun pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya memaksa Al-Juba’i untuk diam.
       Dari situlah Abu Hasan Al-Asy’ari merenung  dan akhirnya memilih keluar dari aliran Mu’tazilah. Kemudian Abu Hasan Al- Asy’ari menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran yang berpegang kuat pada Hadits, Abu Hasan Al-Asy’ari kemudian melawan kaum Mu’tazilah dengan debat lisan dan tulisan, dengan mengumpulkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Hadits.
       Berbeda dengan Mu’tazilah yang mengedepankan akal dalam menentukan paham, Abu Hasan Al Asy’ari  dalam menegakkan pahamnya ialah, dengan mengutamakan dalil-dalil dari Qur’an dan Hadits dan juga dengan pertimbangan akal dan pikiran,[26]) oleh karena itu paham Al-Asy’ari juga disebut sebagai paham sunni, yang merupakan paham tandingan bagi Mu’tazilah.
       Iman menurut Al-Asy’ari adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan hati), adapun definisi yang di inginkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari yang mana di jelaskan oleh Asy-Syahrastani;
“Al-Asy’ari berkata,”....Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’(qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi al-arkan) hanyalah merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya an juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman orang semacam ini merupakan iman yang sahih.....dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.[27])
       Demikian definisi itu bahwasannya iman menurut Al-Asy’ari adalah mengikrarkan dengan lisan  dan membenarkan dengan hati.[28]) persyaratan minimal untuk adanya iman adalah tashdiq,[29]) dan sempurnanya iman adalah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota.[30])
       Kedudukan amal perbuatan dalam paham Al-Asy’ari, dimana ibadah merupakan manifestasi, pembuktian iman[31]) itu sendiri, iman seseorang yang disempurnakan dengan ibadah yang tekun mengantarkan seseorang kepada jalan taqwa, dimana iman adalah potensi  ruhani. Supaya iman dapat mencapai prestasi ruhani yang di sebut taqwa, di perlukan aktualisasi-aktualisasi iman yang terdiri dari beberapa macam dan jenis kegiatan yang dalam istilah al-Qur’an di formulasikan dengan kalimat ‘amilus-shalihat, amal-amal shaleh.[32]) selain itu fungsi ibadah terhadap iman adalah menjaga keselamatan akidah, terutama akidah yang berkaitan dengan kedudukan manusia dan kedudukan Tuhan, dan hubungan manusia dengan Tuhan.[33])
       Seseorang yang melakukan perbuatan buruk, tidak lantas menjadi kafir, ia tetap mukmin namun masih belum sempurna imannya, selama perbuatan seorang tersebut tidak menjadikannya kufur/mengingkari Allah SWT.
       Mengenai kufur disini adalah seseorang yang tidak memercayai adanya Tuhan dan utusan-utusan-Nya, atau orang yang mempunyai Tuhan selain Allah SWT. Termasuk orang kafir adalah orang yang percaya adanya Allah namun mengingkarinya, atau orang yang mengaku beriman tetapi lalai atas keimanannya dengan menyekutukan-Nya.
       Al Asy’ariyah juga tidak mengakui adanya posisi menengah pada aliran Mu’tazilah, sekiranya orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman; dengan demikian bukanlah ia atheis dan bukanlah pula ia monotheis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidak mungkin. Oleh karena itu tidak pula mungkin bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir.[34])
       Di sini jelas bahwa Al-Asy’ari menempatkan perbuatan seseorang bukan penentu seseorang itu iman atau kufur, atau menyebabkan seseorang berada di antara iman dan kufur, dengan kata lain tidak iman dan tidak kufur. Tetapi harus jelas Iman Atau Jelas Kufur.

5.      Maturidiyah
       Merupakan aliran tandingan dari aliran Mu’tazilah selain Asy’ariyah, paham ini adalah paham yang juga berpedoman pada Qur’an dan Sunnah, paham-pahamnya tidak berbeda jauh dengan pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah.
       Aliran yang menganut paham Abu Hanifah ini dalam perjalanannya terjadi perbedaan pendapat di antara para pengikutnya, seperti Al-Baqillani dengan Al-Juwaini, dan Al-Bazdawi. Antara kedua kubu pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan  bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut Al- Maturidiyah sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut Al-Bazdawi.[35])

a.       Maturidiyah Samarkand
       Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat al-Quran surat al-Hujurat 14.[36])
       Sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa pula oleh kalbu. Segala sesuatu yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, bisa menjadi batal bila hati seseorang tidak mengakui ucapan lidah tersebut. Selain itu menurut Maturidiyah Samarkand, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Jadi menurut Al-Maturidi Samarkand, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.[37])

b.      Maturidiyah Bukhara
       Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah SWT. dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya.[38])
       Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.[39])

B.          Hubungan Antar Aliran Mengenai Teologi Iman Dan Kufur
       dalam pembahasan mengenai iman dan kufur selain terdapat perbedaan-perbedaan, juga terdapat hubungan di antara pendapat aliran di atas, dengan kata lain walaupun berdiri dengan paham yang berbeda-beda namun bukan berarti tidak ditemukan kesamaan dari paham-paham yang ada.
                 1. Aliran Yang Mengedepankan Amal Dalam Konsep Iman
          Yang termasuk dalam golongan ini adalah aliran Khawarij dan Mu’tazilah, keduanya menempatkan amal perbuatan sebagai komponen penting dari iman itu sendiri, keduanya sama-sama menghukumi seseorang yang berdosa besar berarti tidak beriman, tetapi Khawarij dan Mu’tazilah berbeda pendapat mengenai kedudukan pendosa besar. Menurut Khawarij orang yang berdosa besar berarti kafir, namun menurut Mu’tazilah tidak demikian, orang yang berdosa besar berarti berada pada posisi tengah antara iman dan kufur, yaitu tidak beriman dan tidak kufur melainkan fasik. 
2. Aliran Yang Mengedepankan Tashdiq Dalam Konsep Iman
          Yakni paham yang mengatakan seseorang dikatakan telah beriman apabila telah membenarkan dalam hati, termasuk dalam golongan ini adalah Murji’ah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand, dan Maturidiyah Bukhara. Di sini bukan berarti mengabaikan amal seseorang, menurut sekte-sekte ini amal di posisikan sebagai penyempurna iman, kecuali aliran Murji’ah Ekstrim yang sama sekali mengabaikan amal perbuatan dalam pembahasan iman dan kufur.
3. Aliran Yang Berpendapat Bahwa Akal Dapat Mencapai Kewajiban Mengetahui Tuhan (KTM)
           Aliran yang termasuk dalam ketegori ini adalah aliran Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, dengan pendapat bahwa untuk pencapaian dalam kewajiban mengetahui Tuhan bukan sekedar berdasarkan wahyu tetapi hasil dari ma’rifah didapatkan melalui penalaran akal. Bahkan Mu’tazilah mengatakan bahwa kewajiban-kewajiban juga dapat diketaui dengan pemikiran yang mendalam.[40])

4. Aliran Yang Tidak Berpendapat Bahwa Akal Dapat Mencapai Kewajiban Mengetahui Tuhan (KTM)
       Aliran yang tidak berpendapat bahwa akal adalah dapat mencapai kewajiban mengetahui Tuhan, berarti dalam konsepnya mereka tidak melibatkan akal, seperti; Asy’ariyah, Maturidiyah Bukhara. Khawarij karena corak pemikiran mereka lebih bertendensi pada politik ketimbang intelektual, juga termasuk dalam kategori kelompok ini.[41]) Sedangkan Murji’ah yang berpendapat bahwa kewajiban mengetahui Tuhan ditempuh dengan ma’rifah bi al-qolb, bukan ma’rifah bi al-aql. Jadi bisa dikategorikan pula dalam kelompok ini

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
       Dari pembahasan di atas jelas diperoleh perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan aliran-aliran Islam mengenai iman dan kufur, meskipun tidak sedikit dari pendapat mereka yang cenderung sama pada sisi lain dari pengertian iman dan kufur itu sendiri.
        Seperti pada aliran Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand  yang berpendapat bahwa akal manusia dapat mencapai kewajiban mengetahui Tuhan, berbeda dengan Asy,ariyah dan Maturidiyah Samarkand iman dalam konsep aliran ini tidak melibatkan ma’rifah. Termasuk Khawarij beserta sekte-sektenya yang pemikiran kalamnya lebih bertendensi politik juga berpendapat demikian.
       Begitupun aliran-aliran yang mengedepankan amal sebagai unsur keimanan, yaitu Mu’tazilah dan Khawarij yang juga mengatakan iman itu bisa bertambah dan berkurang. Berbeda dengan Murji’ah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand, dan Maturidiyah Bukhara bahwa unsur penting dari iman itu sendiri bukanlah amal, dan berpendapat bahwa iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.




 


                                                

[5])  Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) hlm. 142.
[6])  Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986) hlm. 14.
[7])   Ibid., hlm. 18.
[8])  Ibid., hlm. 21.
[9])  Ilmu Kalam, hlm. 143.
[10]) Teologi Islam, hlm. 22.
[11])  Ilmu Kalam, hlm. 143.
[12])  Ibid., hlm. 57.
9)  Teologi Islam. Hlm. 25
[14])  Ibid.
[15])  Ibid., hlm. 28.                                  
[16])  Ibid.
[17])  Ilmu Kalam, hlm. 144.
[18])  Teologi Islam, hlm. 26.
[19])  Ibid., hlm. 27.
[20])  Ibid.
[21]) Ilmu Kalam, hlm. 146.   
[22])  Teologi Islam, hlm. 45.
[23])  Ilmu Kalam, hlm. 147.
[24]) Sheikh Muhammad al-Fudholi, Kifayatul awam: Pembahasan Ajaran Tauhid Ahlus Sunnah, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1997) hlm. 34.
[25])  Teologi Islam, hlm. 68.
[26])  Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, (Jakarta: CV. Pustaka Tarbiyah, 2005) hlm. 22
[27])  Ilmu Kalam, hlm. 149.
[28])  I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, hlm. 78.
[29]) Ilmu Kalam, hlm.149.
[30]) I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, hlm. 78.
[31])  Mohammad Tolchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, (Jakarta: Listafariska Putra, 2000) hlm. 2.

[32])  Ibid., hlm. 20
[33])  Ibid., hlm. 21. 
[34]) Teologi Islam, hlm. 71.
[35])  Teologi Islam, hlm. 78.
[36])  Ilmu Kalam, hlm. 149.
[37])  Ibid.
[38])  Ibid., hlm. 150.  
[39])  Ibid.
[40])  Teologi Islam, hlm. 82.
[41])  Ilmu Kalam, hlm. 151.