Jumat, 06 Mei 2011

Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami


Sejarah munculnya tasawuf irfan pertama kalinya adalah reaksi atas praktik-praktik tasawuf tertentu dalam golongan Syiah yang dianggap telah menyimpang dari syariat. Karena itu, didalam ’irfan sangat mementingkan syariat sebagai dasar bertasawuf.[1].
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, bahwa perjalanan sair suluk (riyâdhâ) seorang hamba kepada Allah Swt. akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfani adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi.
 Kerangka irfani yaitu lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi secara rasa (rohaniah). Manusia tidak akan tahu banyak mengenai penciptaan-Nya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah Swt. walaupun ia adalah orang yang beriman secara akal.
Kita mengenal beberapa tokoh- tokoh dalam tasawuf irfani, diantara tokoh taswuf irfani disini yang sangat terkenal adalah Abu Yazid Al-bustami yang akan kita bahas dalam bab pembahasan berikut ini:

A. Riwayat Hidup Abu Yazid al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami adalah seorang ahli sufi yang terkenal di Persia sekitar abad ketiga hijriyah. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin 'Isa bin Surusyan al-Bustami. Ia lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M dan meninggal dalam usia 73 tahun. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Ibunya merupakan seorang zahid dan Abu Yazid amat patuh padanya. Sungguhpun orang tuanya adalah salah satu pemuka masyarakat yang berada di Bistam, Abu Yazid memilih kehidupan sederhana dan menaruh kasih sayang pada fakir miskin.[2]
Sejak dalam kandungan ibunya, konon Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu menginjak remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatukali gurunya menerangkan suatu ayat dari surah Luqman yang berbunyi, "berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pualng untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah. Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam perjalanan kehidupan zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.[3] Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid. Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut madzhab Hanafi. Setelah itu, ia memperoleh pelajaran tauhid. Namun pada akhirnya kehidupannya berubah dan memasuki dunia tasawuf.
Abu Yazid pernah berkata: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana ia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari`at.[4] Dalam perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis syara` tetapi selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat pula kata-kata beliau yang ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian yang dalam. Dari mulut beliau seringkali memberikan ucapan-ucapan yang berisikan kepercayaan bahwa hamba dan Tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu dan bersatu. Inilah yang dinamakan Mazhab Hulul atau Perpaduan.[5]
Abu Yazid meninggal dunia pada tahun 261 H/947 M, beliau meninggal dunia dalam usia 73 tahun dan dimakamkan di Bustam, dan makamnya sampai sekarang masih ada.


B. Ajaran Tasawuf Abu Yazid al-Bustami
1. Fana' dan Baqa'
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqa`. Secara harfiah fana` berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.[6]
Sedangkan dari segi bahasa kata fana` berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur[7]. Dalam istilah tasawuf, Fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/988 M) mendefinisikannya “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan dapat memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepantingan ketika berbuat sesuatu”.[8]
Sedangkan dalam Sufism and syari`ah kata fana` berarti to die and disappear. (mati dan menghilang). Al-Fana` juga berarti memutuskan hubungan selain Allah, dan mengkhususkan untuk Allah dan bersatu dengannya.
Adapun arti fana` menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana` berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat keTuhanan, dapat pula berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela. Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana` dan ini menurut istilah para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah baqa`, dan lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir, fana` adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah ta`ala berada pada segala sesuatu.[9]
Dengan demikian fana` bagi seorang sufi adalah mengharapkan kematian itera, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya hanyalah Tuhan semesta. Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri tersebut senantiasa diiringi dengan baqa`, yang berarti to live and survive (hidup dan terus hidup),
Adapun baqa`, berasal dari kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kaitan dengan Sufi, maka sebutan Baq` biasanya digunakan dengan proposisi: baqa` bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama sesuatu.[10] Dalam kamus al-Kautsar, baqa` berarti tetap, tinggal, kekal.[11] Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya.
Dalam tasawuf, fana` dan Baqa`  beriringan, sebagaiamana dinyatakan oleh para ahli tasawuf: “Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal. Pencapaian Abu Yazid ketahap fana` dicapai setelah meniggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.:“Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan melalui engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu…”Jalan menuju fana` menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan, ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (Nafsumu dan kemarilah.)”
Abu Yazid sendiri pernah melontarkan kata fana` pada salah satu ucapannya:
أَعْرِفُهُ حَتىَّ فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
Artinya: “Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana`, kemudian aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku pun hidup.”
            Paham baqa` tidak dapat dipisahkan dengan paham fana` karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana`, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa`.Tetapi fana` dan baqa` yang sangat esensial dan penting bagi sufisme sebenarnya bukan yang satu atau yang lain, tetapi ia adalah; pengalaman afektif. Dalam rangka memahami pengalaman ini, maka para Sufi harus mengikuti prosedur. Dalam qaul al-Jamil, seorang Sufi India terkemuka, Syah Wali Allah (wafat  1176/1762) merinci prosedur dari tiga organisasi Sufi Utama, yaitu Qadariyyah, Chistiyyah dan Naqsyabandiyyah. Mereka tegak dalam prinsip yang sama, walau berbeda dalam rinci. Berikut akan diringkaskan prosedur yang diikuti oleh thariqat Qadariyyah.[12]
            Seorang calon Sufi pertama kali harus mengikuti tahap persiapan. Ia harus mempunyai iman yang benar, menjauhi perbuatan munkar, menjauhi dosa-dosa besar (kaba-ir) dan menjauhi dosa-dosa kecil (shagha-ir). Ia harus shalat wajib dan berbagai kewajiban (fara-id) yang diwajibkan syariah atasmya dan menjalankan sunnah Rasul yang terpuji.[13]
            Dengan demikian, Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau  hancur  dan  sesuatu  yang lain   akan  baqa  atau  tinggal.  Dalam  literature  tasawuf disebutkan,  orang  yang  fana  dari  kejahatan  akan   baqa(tinggal)  ilmu  dalam dirinya, orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam  dirinya.  Dengan  demikian, yang  tinggal  dalam  dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan  sesuatu  yang  lain  akan  timbul sebagai  gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul  sifat  baik.  Dan hilangnya  maksiat  akan timbulkan takwa.

2.Al-Ittihad
            Ittihad menurut bahasa berasal dari kata ittahada-yattahidu yang artinya (dua benda) menjadi satu[14], sedangkan dalam istilah Para Sufi adalah, satu tigkatan dalam tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.Yang mana tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana` dan baqa`. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupaun perbuatannya. Ittihad adalah satu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan yang menunjukkkan bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehinggga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku…”.[15]
            Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sunggguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad telah hilang atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.[16] Dalam ittihad identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu pada sufi yang bersangkutan, karena fana`-nya, tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Dalam hal ini, Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari dalam bukunya menyatakan:  Ada dua tingkat penyatuan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu merasa bersatu dengan tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan tuhan; inilah yang disebut tingkat bersatu (maqam i-jam`). Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan mistik adalah kesadaran akan adanya Maha Dzat yang sangat berbeda. Kaum Sufi memandangnya sebagai tingkat kebersatuan mutlak (Jam`al al-jam`; secara harfiah adalah bersatunya kebersatuan).[17]
Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai berikut;
Apabila Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka akan bersaksi akan tiadanya sesuatu yang terlihat kecuaki satu Zat yang maha ada (al-haqq). Bagi sebagian orang, ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi yang lain, ia merupakan pengalamn afektif (hal-an wa dzauq-an); pluralitas menghilang darinya secara bersama-sama. Mereka merasa terserap ke dalam kesatuan Murni (al-Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan intelektunya secara utuh, pingsan dan bingung. Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali selain Tuhan, bahakan terhadap dirinya sendiri sekaipun baginya, tiada sesuatu yang ada kecuali Tuhan; sebagi akibatnya mereka dalam keadaan kehinlangn fikiran sadar (sukr) yang telah meniadakan kemampunanya untuk mengendalikan nalar. Salah satu dari mereka berkata: “Aku adalah Tuhan”, sedang yang lain menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya aku”; sedang yang ketiga berkata: “ Tiada sesuatu dibalik jubah ini keculai Tuhan”. Apabila pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan (fana`) atau bahkan ketiadaan dari ketiadaan (fana` al-fana`). Baginya ia menjadi tidak sadar akan dirniya dan tidak sadar akan ketidaksadarannya (fana`), karena ia tidak sadar akan dirinya dalam keadan demikian atau kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar akan kelupaannya, berarti ia mulai menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini disebut sebagai penyatuan (ittihad) tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan (majaz) dan dalam bahasa kenyataan (al-haqiqah) berarti pengakuan akan keesaan (tauhid).[18]
            Ketika sampai ke  ambang  pintu  ittihad  dari  sufi  keluar ungkapan-ungkapan  ganjil  yang  dalam  istilah sufi disebut syatahat (ucapan  teopatis).[19]
Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syathahat,( ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad), yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya.:[20]
لَسْتُ أَتَعَجَّبَ مِنْ حُبِّيْ لَكَ فَأَنَا عَبْدٌ فَقِيْرٌ وَلَكِنِّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِّكَ لِيْ وَأَنْتَ مَلِكٌ قَدِيْرٌ
Artinya:“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena engkau adalah Raja Mahakuasa”
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
 يَا أَبَا يَزِيْدَ إِنَّهُمْ كُلَّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ فَقُلْتُ: فَأَنْتَ أَنَا وَأَنَا أَنْتَ
Artinya:“Tuhan berkata, ”Semua mereka –kecuali engkau- adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”

Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:
فَانْقَطَعَ المُنَاجَةُ فَصَارَ الكَلِمَةُ وَاحِدَةً وَصَارَ الكُلُّ بِالكُلِّ وَاحِدًا. فَقَالَ لِي: يَا أَنْتَ، فَقُلْتُ بِهِ: يَا أَنَا، فَقَالَ لِي: أَنْتَ الفَرْدُ. قُلْتُ : أَنَا الفَرْدُ قَالَ لِي: أَنْتَ أَنْتَ: أَنَا أَنَا
Artinya:“Konversasi pun terpututs, kata menjadi stu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun- dengan perantaraan-Nya menjawab, “Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engakau adalah Engkau.” Aku balik menjawab, “Aku adalah Aku.”
إِنِّيْ أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي
Artinya:“Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
            Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan Mahatinggi.
            Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya  ditolak  Abu  Yazid.  Ia tetap  meminta  bersatu  dengan  Tuhan.  Ini  kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan  keesaan-Mu.”  Permintaan Abu   Yazid   dikabulkan  Tuhan  dan  terjadilah  persatuan, sebagaimana  terungkap  dari  kata-kata  berikut  ini,  “Abu Yazid,  semuanya  kecuali  engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”[21]
            Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid. Menurut penulis bukan berarti bahwa Abu Yazid sebagai Tuhan, akan tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana`an nafs.
            Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir`aun. Proses ittihad di sisis Abu yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan menyadari dirnya
P E N U T U P

Abu Yazid al-Bustami adalah seorang tokoh sufi yang hidup pada abad ketiga Hijriyah. Beliau dipandang sebagai orang yang mempelopori paham fana', baqa', dan ittihad. Sebelum beliau begelut dengan dunia tasawuf, beliau mempelajari fiqh terutama madzhab Hanafi.
Sebelum Abu Yazid mencapai tingkat ittihad, ia mengawali maqamnya dengan fana' dan baqa' yang merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pencapaian al-ittihad. Dan Fana' adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa' adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan dari dosa dan maksiat. Ittihad adalah menyatunya jiwa manusia dengan tuhan, untuk mencapai hal tersebut harus dilakukan usaha-usaha yang maksimal seperti taubat, zikir ibadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Paham Abu yazid mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan ulama. Ulama syari'ah atau ahli fiqh cenderung menyatakan bahwa paham ini menyesatkan dan Abu yazid dikatakan kafir. Sebagian lagi menganggapnya hanya penyimpangan saja dan sebagian lagi memahami bahwa paham yang didasarkan pada ungkapan-ungkapan Abu Yazid tidak dapat dijadikan pedoman sebab disampaikan ketika ia tidak dalam kesadaran dirinya, melainkan tunduk pada intuisi ketika beliau fana', baqa', dan ittihad
Demikian makalah yang dapat penulis haturkan dan kami berharap makalah ini mempunyai asas manfaat bagi penulis dan juga bagi siapa saja yang kebetulan membaca, kiranya makalah ini jauh dari kata sempurna, maka kritik dan saran sangat  kami harapkan demi tercapainya tulisan-tulisan yang lebih baik dimasa-masa mendatang. Amiin Yaa Rabbal Alamiin.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Habsyi Husain, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia), (Surabaya, Darussagaf   P.P. Alawy, 1997)
Al-Aththar Fariduddin Mahdi, Warisan Para Ulama’(Bandung, Pustaka,1983)

Anwar Rosihan, DR. M.Ag dan Sholikhin Muhtar, DR. M.Ag,        IlmuTasawuf,(Bandung, Pustaka Setia, 2000)

Anwar C.Ramli Bihar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, (Jakarta:
            Penerbit IIMAN bekerjasama dengan Penerbit HIKMAH, 2002)

Emang..M Ruddin Drs H  , Akhlaq Tasawuf, (Ujungpandang, Identitas, 1994

www.media.isnet.org/islam/index  
              



[1] C.Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, (Jakarta:IMAN      
  & HIKMAH, 2002),h 47


[2] Fariduddin Mahdi Al-Aththar, Warisan Para Ulama,(Bandung, Pustaka,1983), h 128
[3]  MM Syarif, A History of Muslim phyilosofhy,( Wiesbaden,Otto Harassowitz, 1996) vol I,h 342
[4]  M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf,( Ujungpandang,Identitas, 1994) h. 51
[5] Ibid h 51
[6]  Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme,     
   (Jakarta,PT.Rajagrafindo Persada, 1997) Cet. I, h. 47
[7]  Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia), (Surabaya,Darussagaf P.P. Alawy; 1997),
   h. 362
[8] Rosihan Anwar,  Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung,CV.PUSTAKA SETIA,2000). h. 130
[9] Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, ( Jakarta,, Mizan1999), Cet. I h. 74-75
[10]  Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufi.... h47
[11] Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indone..............................h26
[12]  Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufi......h 48
[13]  Ibid,h 48
[14] Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indone............h 581
[15] Rosihan Anwar,  Mukhtar Solihin, Ilmu Tasa............... h 133
[16]  Ibid h133
[17] Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufi.....h 52
[18] Ibid..h53
[19] www.media.isnet.org/islam/index.html
[20] Rosihan Anwar,  Mukhtar Solihin, Ilmu Tasa............... h 132-133
[21]  www.media.isnet.org/islam/index.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar