Sabtu, 07 Mei 2011

TASAWUF SI'I


                                  PENDAHULUAN                       

A. Latar Belakang
Sejarah tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai yang cukup panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan kompleksitas, namun sejalan dengan itu upaya penggalian informasi mengenai perkembangan pemikiran keislaman melalui data-data (naskah-naskah) yang dihasilkan oleh para pemikir terdahulu (ulama’ terdahulu) menjadi sesuatu yang mutlak harus terus dilakukan, mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah tesebut pun sangat beragam dan di antara tema yang cukup dominan serta telah banyak menarik perhatian para peneliti naskah adalah tentang tasawuf.
Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa tasawuf merupkan aspek esoteric atau aspek batin yang harus dibedakan dari aspek eksoteric atau aspek lahir dalam islam. Tasawuf  atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisesme dalam islam, adapun tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan tuhan, sehingga dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada di hadiratnya, yang intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan tuhan dengan mangasingkan diri dan berkontemplasi.
Sementara itu dalam Syi’isme aspek esoteric dan aspek eksoteric menjadi samar perbedaannya, karena menurut Syi’isme aspek esoteric Islam diproyeksikan ke masyakarat umum, dan dalam Syi’isme, aturan tepat segala sesuatu menuntut bahwa Imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal. Di mana seorang pemimpin bagi Syi’i adalah seorang yang telah di beri otoritas kerohanian (esoteric), maka ia pun di kategorikan pula sebagai orang yang memiliki otoritas temporal (eksoteric). Yang mana dalam hal ini kaum Syi’ah menempatkan Ali bin Abi Thalib pada posisi ini, yakni posisi pemegang otoritas keruhanian sekaligus otoritas temporal.

B. Tujuan
            Makalah ini bertujuan selain sebagai pemenuhan tugas Tasawuf Akhlaqi oleh Dosen pengampu kami Bapak Dr. M. Thohir Aruf, M.Ag. Juga bertujuan sebagai bahan pelajaran bagi kami mengenai tasawuf Syi’i beserta pengertian, sejarah maupun hubungannya dengan tasawuf-tasawuf lain seperti sunni dan falsafi, mengingat nama Syi’i  masih sedikit asing di telinga khususnya kami sebagai penyusun, dan mungkin teman-teman kami pada umumnya. Oleh karena itu perlu kami paparkan sedikitnya mengenai  tasawuf syi’i, dan sehingga kita pun akan mengetahui pula apa itu yang dinamakan  tasawuf syi’i.
Selain itu makalah ini juga bertujuan sebagai bentuk latihan kami dalam membuat makalah, di mana hal ini sangat kami butuhkan mengingat suatu saat kami akan menghadapi persyaratan kelulusan yakni skripsi. Untuk itu maka tugas ini sangat membantu kami.
C. Manfaat
            Selain kita tahu bagaimana cara membuat makalah, setidaknya kita belajar mengenai materi judul makalah ini secara tidak langsung, dan hal ini lebih intensif, di mana lebih mengena pada penyusun makalah. Dan khususnya pada makalah ini yakni pengetahuan terhadap tasawuf Syi’i, sehinnga kita dapat mengetahui tasawuf syi’i beserta sejarah perkembangannya.
            Dan sesuai dengan tujuan kami diharapkan makalah ini bermanfaat bagi kita, khususnya kami sebagai penyusun dan teman-teman pada umumnya. 
D. Rumusan Masalah
1.      Pengertian Tasawuf Syi’i
2.      Sejarah Perkembangan Tasawuf Syi’i
3.      Hubungan Tasawuf Syi’i Dengan Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Sunni

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian tasawuf Syi’i
     Tasawuf Syi’i adalah tasawuf yang beranggapan bahwa manusia akan manunggal dengan tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya.[1] Hal ini sebagaimana tasawuf falsafi di mana al-Hallaj (adalah salah satu tokoh dari tasawuf filsafat) memformulasikan teorinya dalam doktrin ‘Hulul’, yakni perpaduan insan dengan Tuhan secara rohaniyah atau makhluk dengan al-khalik.[2] Oleh karenanya tasawuf syi’i disebut-sebut mempunyai kesaman dengan tasawuf falsafi.
    Pada tasawuf Syi’i yang dengan penghormatan berlebihannya kepada Ali Bin Abi Thalib dan sebagai imam pertama kaum Syi’ah, Ali menggabungkan dua jenis otoritas di atas dalam satu pribadi, dan menurut Syi’isme, aturan tepat segala sesuatu menuntut bahwa imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal. Akan tetapi, sementara dalam Syi’isme aspek esoteris Islam diproyeksikan ke masyakarat umum, sehingga perbedaan antara eksoteris dan esoteris menjadi samar. Dalam pemahaman sufi pada umumnya hierarki vertikal dan horizontal tidak perlu bercampur. Hal inilah yang membedakannya dengan tasawuf Syi’i yang menggabungkan dua unsur esoteris dan unsur eksoteris.[3]
     Selain itu tasawuf Syi’i atau yang di sebut juga tasawuf Syi’ah, ajarannya adalah pemulyaan kepada imam secara berlebihan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menuhankan imam. Hal ini merupakan perbedaan yang cukup kontras dengan tasawuf lainnya umpamanya sunni, bahkan pada masanya Syi’i dan Sunni adalah aliran atau tasawuf yang saling bertolak belakang dalam kecintaan kepada Ali Bin Abi Thalib dan karena keruhaniannya yang unggul. Di mana Syi’i karena kecintaannya yang berlebihan pada Ali Bin Abi Thalib, sehingga membatalkan kekhalifaan khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib, bahkan mengkafirkan mereka.[4]
     Selanjutnya Syi’ah menganggap bahwa pemimpin yang berhak memimpin adalah ahl-al-bait, karena hanya ahl-al-baitlah yang punya hak untuk memimpin, sehingga selama perjalanannya, Syi’ah selain dengan doktrin-doktrinnya juga memperjuangkan hak kekhalifaan ahl-al-bait. Dengan melakukan pemberontakan-pemberontakan terhadap kepemimpinan dinasti Ammawiyah dan Abbasiyah.    
B.   Sejarah perkembangan Tasawuf Syi’i
    Jika kita berbicara sejarah perkembangan tasawuf Syi’i, maka kita di ingatkan kembali pada pelajaran semester 1 yakni mengenai ajaran aliran Syi’ah, maka pembahasan kami akan tidak jauh dengan pembahasan pada aliran Syi’ah terdahulu.
     Kemunculan tasawuf Syi’i yang juga disebut Syi’ah adalah beriringan dengan kemunculan aliran Syi’ah itu sendiri, yang mana kita sendiri tahu, kemunculan Syi’ah  adalah berkaitan dengan masalah pengganti (khalifah) Nabi Muhammad SAW. mereka menolak kekhalifaan Abu Bakar, Umar Bin Khattab, dan Usman Bin Affan.[5]
     Dalam kemunculan Syi’ah ada pendapat yang mengatakan kalau kemunculan Syi’ah sudah dimulai ketika Rasulullah SAW. masih hidup, namun baru muncul ke permukaan yakni pada masa pemerintahan Usman Bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib.[6] Yang juga di sebut-sebut sebagai permulaan timbulnya perpecahan. Dalam tubuh Islam.
    
    Di mana kaum Syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pendukung Ali bin Abi-Thalib setelah perang siffin. Setelah perang usai golongan Syi’ah banyak yang berdiam didarat persia  suatu daratan yang terkenal dengan pemikiran persia dan falsafat yunani, maka disinilah terjadi kontak antara islam dengan kebudayaan yunani hingga akhir nya tasawuf Syi’i banyak yang dipengaruhi oleh filsafat yunani. Karena tasawuf Syi’i telah dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran persia dan falsafat yunani maka membuat tasawuf Syi’i dan tasawuf falsafi mempunyai banyak persamaan, contohna: ajaran hulul dan tasawuf falsafi sama dengan hululnya syi’ah isma’iliyah. Pengertian hulul adalah Tuhan mengambil tempat didalam tubuh manusia.[7]
     
     Dalam perkembangan tasawuf Syi’i bertolak belakang dengan pendapat tasawuf Sunni mengenai kedudukan Ali bin Abi Thalib, alasan bahwa Nabi Muhammad SAW. telah memberikan isyarat-isyarat otoritas kepada Ali Bin Abi Thalib lah yang mendasari paham ini, Otoritas kerohanian diserahkan kepada Ali oleh Nabi merupakan satu realitas yang diterima baik oleh Sufi-sufi Sunni dan Syi’i, namun mereka berbeda berkaitan dengan konsekuensinya dalam ranah temporal. Sebagai imam pertama kaum Syi’ah, Ali menggabungkan dua jenis otoritas di atas dalam satu pribadi, dan menurut Syi’isme, aturan tepat segala sesuatu menuntut bahwa Imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal.
     Dalam teologi bermazhab Syi’ah dan berpola pikir Muktazilah, konsep-konsep tasawuf falsafi biasanya dapat diterima karena itu aliran tasawuf ini berkembang pesat dikawasan umat Islam bermazhab Syi’ah dan atau Muktazilah. Itulah alasannya kenapa tasawuf falsafi sering juga dinamai atau dinisbahkan ke dalam ‘tasawuf Syi’i’.[8]
     Pandangan ‘union mistisisme’ inilah yang membentuk konsepsi dasar tasawuf falsafi dan banyak meng-inspirasi para sufi bermazhab falsafi atau Sufi-Filosof untuk merumuskan dan melahirkan karya-karya pemikiran tasawuf falsafi, yang terkenal diantaranya adalah Ibnu Arabi, Ibnu Syab’in, Al Jilli, dll.[9]
     Bertahun-tahun lamanya gerakan Syiah hanya berputar di Iran, rumah dan kiblat utama Syiah. Namun sejak tahun 1979, persis ketika revolusi Iran meletus dan negeri ini dipimpin oleh Ayatullah Khomeini dengan cara menumbangkan rejim Syah Reza Pahlevi, Syiah merembes ke berbagai penjuru dunia. Kelompok-kelompok yang mengarah kepada gerakan Syi’ah seperti yang terjadi di Iran, marak dan muncul di mana-mana.[10]
     Perkembangan Syi’ah, yaitu gerakan yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait ini memang cukup pesat, terlebih di kalangan masyarakat yang umumnya adalah awam dalam soal keagamaan, menjadi lahan empuk bagi gerakan-gerakan aliran sempalan untuk menggaet mereka menjadi sebuah komunitas, kelompok dan jama’ahnya.[11]
     Kaum Syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya, setelah peristiwa perang shiffin (yakni perang anta pendukung kekholifaan Ali dan pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan), orang-orang pendukung fanatik Ali memisahkan diri dan banyak berdiam di daratan Persia, yaitu suatu daratan yang terkenal banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah kontak antara budaya Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di daerah tersebut. Ketika itu, di daratan Persia ini sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga sudah begitu berkembang mendahului wilayah-wilayah Islam lainnya.[12]
       Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kaca mata keterpengaruhan Persia oleh pemkiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalm Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ibnu Khaldun melihat kedekatan tasawuf falosofis dengan sekte ismailiyah dan Syi’ah. Sekte ismailiyah menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka.[13] Dalam perkembangan tasawuf Syi’i yang cenderung kepada tasawuf Falsafi, yakni dalam pandangan tentang Tuhan.
C. Hubungan  Antara Tasawuf Syi’i, Sunni, dan Falsafi
1.      Tasawuf Syi’i dan Tasawuf Sunni
            Kalau kita berbicara tentang tasawuf Syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki perbedaan. Paham tasawuf Syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat manunggal dengan tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya. Sedang tasawuf Sunni atau bisa di sebut juga dengan tasawuf Akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmumah dan mewujudkan akhlaq mahmudah.[14] Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ulama’-ulama’ sufi.
            Dalam perkembangannya tasawuf Syi’i berbeda pendapat dengan Tasawuf sunni mengenai pandangan terhadap Ali Bin Abi Thalib, di mana Ali Bin Abi Thalib adalah sumber kontroversi pada masanya dan masih bertahan sampai saat ini, kontroversi ini muncul pada lebih dari satu tataran, mulai dari persoalan-persoalan politik dan sejarah hingga masalah-masalah di bidang teologi dan metafisika. Keluasan intelektual dan kedalaman spiritual Ali telah mengilhami seluruh penjuru dunia Islam, baik Sunni maupun Syi’i.[15] dan sekalipun banyak konflik di antara kedua mazhab besar Islam ini yang berpusat pada pribadi Ali, satu pihak tidak pernah bisa menuduh yang lain kurang memiliki kecintaan dan penghormatan kepadanya. Dalam hal ini, secara paradoks, Ali menyatukan kaum Muslim dalam kecintaan mereka kepadanya, tetapi sentralitasnya dalam sudut pandang yang berlawanan menjadikannya sumber perselisihan yang serius.[16]
            Selain itu tasawuf Syi’i atau yang di sebut juga tasawuf Syi’ah, ajarannya adalah pemulyaan kepada imam secara berlebihan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menuhankan imam. Hal ini merupakan perbedaan yang cukup kontras dengan tasawuf lainnya umpamanya Sunni, bahkan pada masanya Syi’i dan Sunni adalah aliran atau tasawuf yang saling bertolak belakang dalam kecintaan kepada Ali Bin Abi Thalib dan karena keruhaniannya yang unggul. Di mana Syi’i karena kecintaannya yang berlebihan pada Ali Bin Abi Thalib, sehingga membatalkan kekhalifaan khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib, bahkan mengkafirkan mereka. Sedangkan sunni yang juga tidak mengurangi kecintaan kepada Ali dan tidak memungkiri keunggulan rihaninya, tetap menganggap kekhalifaan khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib, karena sunni menganggap bahwa masalah kekhalifaan adalah hal yang biasa, yakni khalifah hanyalah administrator, dan ketika ia secara ruhani unggul, ini tidak dipandang sebagai syarat untuk jabatan khalifah.[17]
                   Hal ini terlihat dalam pemahaman mengenai otoritas kerohanian yang di berikan kepada Ali Bin Abi Thalib oleh Rasulullah SAW. menimbulkan penafsiran yang beragam atas pengertian otoritas spiritual dan temporal telah mengarahkan kepada kesalahpahaman antara Syi’ah dan Sunni juga antara elemen-elemen tertentu dalam dunia Sunni itu sendiri. Otoritas kerohanian diserahkan kepada Ali oleh Nabi merupakan satu realitas yang diterima baik oleh para sufi, namun mereka berbeda berkaitan dengan konsekuensinya dalam ranah temporal.[18]
2.         Tasawuf Syi’i dan Tasawuf Falsafi
            Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf Syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan imam-imam mereka, di mana tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam.[19] Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.
            Ibnu Khaldun melihat kedekatan tasawuf falosofis dengan sekte ismailiyah dan Syi’ah. Menurutnya, kedua kelompok ini memiliki kesamaan, khususanya dalam persoaalan “quthb” dan “abdal”. Bagi para sufi filosof, quthb adalah puncak kaum arifin, sedangakan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin yang seperti ini mirip dengan doktrin aliran Ismailiyah tentang imam dan para wakilnya begitu juga tentang pakaian compang-camping yang disebut-sebut berasal dari imam Ali.[20]
            Disini Syi’ah Isma’iliyah, atau yang juga kita kenal dengan sebutan Syi’ah Sab’iyah, mengatakan bahwa imam adalah seorang yang menuntun umatnya kepada pengetahuan (ma’rifat).[21] Juga mengenai pendapatnya tentang syarat-syarat imam haruslah makshum, keharusan makshum bagi imam dapat ditelusuri dengan pendekatan sejarah Iran pra-Islam terdapat ajaran yang menyatakan bahwa raja itu merupakan keturunan Tuhan; atau seorang raja adalah penguasa yang mendapat tetesan Ilahi (Devine Grase) dan dalam bahasa persianya adalah Farr-i Izadi. Oleh sebab itu seorang raja haruslah makshum.[22]
















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan I
            Tasawuf Syi’i adalah tasawuf yang dibawa oleh kaum aliran Syi’ah yang beranggapan bahwa manusia akan manunggal dengan tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya, di mana ada anggapan hulul atau ketuhanan pada imamnya
B. Kesimpulan II                  
                  Setelah perang siffin usai golongan Syi’ah banyak yang berdiam di darat Persia, Suatu daratan yang terkenal dengan pemikiran persia dan falsafat yunani, hal ini berpengaruh pada perkembangan tasawuf Syi’i oleh filsafat yunani, sehingga di sebut-sebut tasawuf Syi’i sebagai tasawuf yang mempunyai kedekatan dengan tasawuf falsafi.
            Perkembangan Syi’ah, yaitu gerakan dengan mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait sehingga perkembangannya cukup pesat, terlebih di kalangan masyarakat yang umumnya adalah awam dalam soal keagamaan, menjadi lahan empuk bagi gerakan-gerakan aliran sempalan untuk menggaet mereka menjadi sebuah komunitas, kelompok dan jama’ahnya
C. Kesimpulan III
-     Tasawuf Syi,i dengan tandingannya yakni tasawuf Sunni, berbeda dalam pandangan tentang Ali Bin Abi Thalib, walaupun demikian keduanya tetap tidak di pisahkan pada kecintaannya kepada Ali Bin Abi Thalib.
-     Pada sisi lain keduanya berbeda dalam hal ajaran tasawufnya. Paham tasawuf Syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat manunggal dengan tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya, di mana di katakan Tuhan mengambil tempat pada tubuh manusia (hulul).  Sedang tasawuf Sunni atau bisa di sebut juga dengan tasawuf Akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq.
-     Mengenai kedekatan Tasawuf Syi’i dengan tasawuf Falsafi adalah pada ajaran mengenai hululnya, di mana tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam. Di sinilah persamaan di antara keduanya, yang menunjukkan kedekatannya.



[1] http://zidniagus.wordpress.com/2009/11/12/pembagian-tasawuf
[2] Kaisar Biru, http://notezone13.blogspot.com/2010/01/corak-ajaran-tasawuf
[3] Caner K. Dagli, http://www-al-shia.com/html/id/service/maqalat/003/02.html
[4] Caner K. Dagli, http://www.al-shia.com/html/id/service/maqalat/003/02.html
[5] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 91.
[6] Ibid.
[7] http://www.scribd.com/aindosat
[8] Kaisar Biru,  http://notezone13.blogspot.com/2010/01/corak-ajaran-tasawuf.html
[9] Ibid.
[10] http://www.eramuslim.com/berita/gerakan-syi’ah-sejarah-dan-perkembangannya.htm
[11] Ibid.
[12] http://zidniagus.wordpress.com/2009/11/12/pembagian-tasawuf
[13] Rosihon Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), 54.
[14] Ibid, 49.
[16] Ibid.
[17] Caner K. Dagli, http://www.al-shia.com/html/id/service/maqalat/003/02.html
[18] Ibid.
[19] Ilmu Tasawuf, 49.
[20] Ibid.  54.
[21] Ilmu Kalam, 97.
[22] Ibid. 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar